
Penahanan 17 Mahasiswa yang diduga telah menyebarkan brosur Buletin Dakwah didepan Mapolresta Bogor, Jalan Kapten Muslihat, Kota Bogor, pada Minggu (30/04) siang kemarin, Senin (1/5) siang tadi telah dibebaskan. Kabar ini didapat dari Lupiyanto, humas El Rahma, Bogor, yang dihubungi oleh mediabogor.com. Dalam pemaparannya, Lupiyanto menegaskan, semua ini hanyalah keselahpahaman antara kedua belah pihak, yang dimana, pihak Mahasiswa telah mendapatkan perlakuan yang tidak pantas atau dinilai berlebihan.
”Jadi, Mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) mengadakan One Day for Dakwah pada tanggal 30 April 2017 kemarin, dan dilakukan di luar kegiatan akademik El Rahma semata – mata kegiatan mahasiswa. Dan kegiatan hanya sebatas sebar buletin saja, tidak ada orasi. Karena itu mahasiswa merasa itu bukan demo, jadi kalau sebar brosur dianggap gak ijin kenapa ditangkap, bukan dibubarkan? Mereka anggap ya kaya nyebar brosur leasing. Mereka kalau disuruh bubar ya bubar, kok kenapa malah ditangkap?,” tegasnya.
Setelah melalui penyidikan yang cukup panjang, terang Lupiyanto, pihaknya dalam waktu dekat ini akan melakukan klarifikasi terhadap kejadian kemarin.
”Alhamdulillah, siang tadi sudah dibebaskan ke 17 Mahasiswa, dan bukan dari El Rahma saja, ada gabungan juga,” tutupnya.
Hal ini pun mendapat kritikan tajam dari Advokat senior Eggi Sudjana. Eggi menilai, sejumlah pihak yang dalam beberapa kesempatan terakhir ini, berupaya untuk membubarkan kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap anti Pancasila dan mengancam NKRI.
“Bukan dengan cara main bubarkan saja, main ini-main itu, emangnya apaan? Kita ini dasarnya Pancasila! Jadi harus ada pendekatan dialog, baik inisiatif HTI atau inisiatif Kapolri, Banser dan Ansor, untuk menjelaskan bahwa HTI tidak seperti yang mereka tuduhkan. Bila tidak ada dialog, melanggar Pancasila juga yang terkait dengan Permusyawaratan/Perwakilan,” tegasnya, seperti yang dikutip dari lama mediaumat.com, Minggu (30/4).
Perlu bukti yang kuat, lanjut Egi, untuk membuat suatu kebijakan dan mengadukan sesuatu ke ranah pidana.
”Kalau sudah dialog, kemudian benar terbukti secara fakta argumentasinya HTI seperti yang dituduhkan, baru ajukan ke pengadilan, proses di pengadilan. Pengadilan yang membubarkan. Itu yang benar,” lanjut Egi.
Ia juga menyatakan melarang kegiatan HTI hanya karena ada segelintir pihak yang tidak setuju, dan Kapolri dianggap melanggar hukum.
“Justru jadi melanggar hukum kalau melakukan tindakan, dalam hal ini membubarkan atau melakukan hal lainnya yang melanggar hukum,” ungkapnya.
Alasannya, papar Eggi, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Tata cara bernegara dan berbangsa ada panduannya yaitu berdasarkan hukum.
“Jadi tidak bisa kekuasaan, walaupun dia berkuasa lalu sewenang-wenang melakukan tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum,” ujarnya.
Eggi juga mengkritik Banser dan Ansor yang menstigma HTI mengancam Pancasila dan NKRI lalu memukul aktivis HTI dan merampas atributnya.
“Dalam konteks HTI, tidak bisa dibubarkan kalau tidak ada proses pengadilannya. Jadi tidak bisa semua orang bertindak semaunya, Ansor, Banser tidak boleh begitu karena tidak ada legitimasi hukumnya. Jadi tidak bisa melakukan stigma begitu karena ini negara hukum bukan negara kekuasaan. Itu sangat tidak dibenarkan,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar Kapolri, Banser dan Ansor mengacu pada Sila Keempat Pancasila.
“Saran saya, Kapolri, Ansor dan Banser kita ini harus mengacu pada Sila Keempat Pancasila. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, ini harus dipahami. Jadi rakyat, dipimpin oleh hikmah. Apa itu hikmah? Hikmah itu kandungan Al-Qur’an, kandungan hadits, kandungan UUD 1945 dan Pancasilanya itu sendiri dipahami dengan baik untuk bisa mendatangkan hikmah-hikmah. Jadi rakyat itu dipimpin oleh hikmah-hikmah, kebaikan-kebaikan,” pungkasnya. (mediabogor.com)
“Jadi tidak bisa kekuasaan, walaupun dia berkuasa lalu sewenang-wenang melakukan tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum,” ujarnya.
Eggi juga mengkritik Banser dan Ansor yang menstigma HTI mengancam Pancasila dan NKRI lalu memukul aktivis HTI dan merampas atributnya.
“Dalam konteks HTI, tidak bisa dibubarkan kalau tidak ada proses pengadilannya. Jadi tidak bisa semua orang bertindak semaunya, Ansor, Banser tidak boleh begitu karena tidak ada legitimasi hukumnya. Jadi tidak bisa melakukan stigma begitu karena ini negara hukum bukan negara kekuasaan. Itu sangat tidak dibenarkan,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar Kapolri, Banser dan Ansor mengacu pada Sila Keempat Pancasila.
“Saran saya, Kapolri, Ansor dan Banser kita ini harus mengacu pada Sila Keempat Pancasila. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, ini harus dipahami. Jadi rakyat, dipimpin oleh hikmah. Apa itu hikmah? Hikmah itu kandungan Al-Qur’an, kandungan hadits, kandungan UUD 1945 dan Pancasilanya itu sendiri dipahami dengan baik untuk bisa mendatangkan hikmah-hikmah. Jadi rakyat itu dipimpin oleh hikmah-hikmah, kebaikan-kebaikan,” pungkasnya. (mediabogor.com)