“Belakangan ini ana lihat Fulan sering tidak ikut halaqah, agenda-agenda dakwahpun tak lagi kelihatan, tak ada kabar sama sekali. Adakah yang tahu bagaimana keadaan dia sekarang?” Sepenggal tanya di pagi hari dari seorang guru kepada para daris di sekelilingnya.
Sepenggal dialog pagi hari yang terpampang di muka hanya satu dari sekian fenomena yang kerap kita temukan dalam dinamika dakwah. Halaqah yang semestinya menjadi ajang pemenuhan amunisi dakwah, kini kehilangan urgensitasnya. Jika ditanya alasan, kerap kali kita menyandarkannya sesuka hati bahkan tak jarang lebih sering tersandera hawa nafsu ketimbang standar wahyu. Gerimis tak seberapa pun dianggap sebagai hujan yang deras, “afwan ustadz, ana izin tak ikut halaqah” begitulah kira-kira kalimat yang sering diterima musyrif dari para darisnya ketika waktu halaqah tiba sedangkan cuaca sedikit mendung. Di sisi yang lain, banyak dari kita yang tak menghiraukan cuaca jika berbicara kerja dan cari nafkah. Hujan sebesar apapun tak menyurutkan langkah untuk tetap pergi ke kantor, sedangkan untuk halaqah? tampaknya itu semua tak berlaku.
Kondisi serupa bisa kita temui pada para aktivis dakwah yang sudah menikah. Si kecil rewel kerap dijadikan alasan untuk tidak ikut perhalaqahan “afwan ustadz, ana ada keperluan keluarga mendadak. Izin tak bisa ikut halaqah.” Begitulah kira-kira, ada saja seribu satu alasan bagi kita untuk tak hadir majlis ilmu, yang sejatinya hanya bisikan-bisikan iblis yang akan membinasakan. Jika kita berdiam diri dengan kondisi demikian, bersiaplah kita akan menjadi budak kemalasan yang kesehariannya disandera hawa nafsu yang tak berkesudahan.
Kondisi ini kian diperparah dengan alasan para daris yang ‘menyalahkan’ kapasitas musyrif yang tak sesuai standar. Padahal, dalam penentuan stadar pun tak jarang kita menyandarkannya kepada ‘selera’ nafsu belaka. Lihatlah para generasi salafus shalih, mereka tak sekali-kali menyalahkan guru dalam hal kapasitas. Yang mereka kejar tidak lain adalah keberkahan majlis yang tidak akan didapatkan jika tak menghadirinya.
Berbicara para sahabat rasul dan generasi salafus shalih, malu rasanya jika dibandingkan dengan kualitas amalan kita yang sekarang, termasuk dalam hal mengkaji ilmu. Akan tetapi, itu semua tak menyurutkan harapan untuk bisa mengikuti jejak teladan yang telah mereka goreskan.
Ikhwah, kau bicara kebangkitan Islam, sedangkan untuk membangkitkan diri saja kita kewalahan. Halaqah itu sebagai pilar utama penanaman kepribadian yang nanti menjadi amunisi dalam menyapa umat menuju kebangkitan. Jika kualitas halaqahnya saja acak-acakan, bagaimana bisa kita mengajak umat menuju kebangkitan?
Ikhwah, bolehkan saya utarakan sepenggal kisah generasi salafus shalih dalam semangatnya mengkaji Islam dan mendatangi majlis-majlis kajian ilmu?
Tersebutlah di salah satu wilayah, seorang anak muda yang memiliki semangat mengkaji ilmu, namanya Ibnu Jandal Alqurthubi. Kesenangannya pada ilmu membuatnya rela mengorbankan apapun agar bisa mendapatkan sereguk hikmah dari para gurunya. Suatu hari ia hendak menghadiri majlisnya Ibnu Mujahid. “saya pernah belajar kepada Ibnu Mujahid. Agar bisa mendapatkan tempat terdekat dengan beliau, saya berangkat sebelum fajar menyingsing. Sesampai di tempat kajian, didapati pintunya masih tertutup dan saya tidak bisa memasukinya” kurang lebih begitulah tuturnya. “Masya Allah, sudah berangkat sepagi ini tapi saya tetap tidak bisa duduk di dekatnya” lanjutnya. Kemudian, ia melihat ada lorong berukuran kecil di samping rumah Ibnu Mujahid. Ditembuslah lorong tersebut dengan harapan ia bisa tetap menghadiri majlis ilmu Ibnu Mujahid meskipun sudah terlambat. Di tengah lorong, didapati lorongnya semakin menyempit. Kondisi ini membuatnya kesulitan untuk melanjutkan perjalanan; tidak pula untuk kembali. Dengan baju yang terkoyak-koyak, ia lanjutkan menerobos lorong tersebut. Hingga akhirnya, ia berhasil hadir di majlis ilmu Ibnu Mujahid dengan kondisi pakaian yang terkoyak dan badannya dipenuhi bekas terobosan lorong. Dengan penuh rasa malu, ia duduk di majlis tersebut dan berharap bisa mendengarkan untaian hikmah yang disampaikan gurunya tersebut.
Begitulah kualitas generasi salafus shalih dalam menempuh majlis ilmu. Seberapa beratpun kondisi yang dihadapi, karena baginya dengan mendapatkan ilmu akan membuatnya mulia di hadapan Allah, ia tempuh tantangan tersebut. Bagaiman dengan kita, ikhwah? Malu rasanya.
Berbicara seputar harta, bagaiman dengan harta yang kita miliki? Sudahkan kita korbankan untuk bekal berjuang di jalan Allah? Sudahkan kita korbankan harta kita untuk menghadiri perhalaqahan? Ataukah kita meragukan janji Allah bahwa Ia akan meninggikan derajat orang-orang berilmu?
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(al-Mujadilah: 11)
Ikhwah, 14 abad silam rasulullah sempat berujar bahwa siapa saja yang menempuh jalan ilmu dan duduk di majlis-majlis ilmu, maka Allah akan mencurahkan rahmat-Nya, menaungkan sayap-sayap malaikat-Nya, menurunkan sakinah ke dalam dadanya, dan menyebut-nyebut namanya di hadapan makhluk terbaik yang ada di sekitar-Nya. Masya Allah, tidakkah kita tergiru dengan janji mulia ini? Sudahkan kita mematri dalam dada kita untuk mendapatkannya?
Ikhwah, mestinya kita malu dengan kualitas amalan kita sekarang, Saat kita ngobrol perkara kerja, karier, dan jodoh, bicara mulai pangkal hingga ujung siap kita ladeni. Akan tetapi, untuk ngontak dan menyebarkan opini Islam apalagi halaqah? Tampaknya, itu semua tak berlaku. Beribu alasan dengan mudah menyeruak, mulai dari belum bisa, malu, dan belum siap. Bagaimana kita bisa siap dalam dakwah jika dalam mencari amunisinya saja kita bermalas-malasan.
Lalu melalui perjuangan tangan orang-orang yang beramal seperti ini, kita mengharap khilafah segera tegak? Kita kerap meminta khilafah segera Allah tegakkan tapi kita tak segera memantaskan diri sebagai orang-orang yang layak dapatkan pertolongan-Nya. Tak sedikit dari kita yang masih lebih mencinta dunia, padahal kepentingan Islam dan kaum muslim mesti tertunaikan segera. Mari kita muhasabah, benahi amal, luruskan niat, dan perkokoh komitmen terhadap dakwah yang mulia ini. Mari kita pastikan dakwah menjadi poros hidup dan amal kita. Semoga Allah jadikan kita insan-insan yang pantas menjadi penolong agama-Nya, yang dengannya kita layak dihadiahi khilafah ala minhaj an-nubuwah segera. Yuk, halaqah.
Wallahu a’lamu bi ash-shawab [] (Riki Nasrullah/Unpad)
Sepenggal dialog pagi hari yang terpampang di muka hanya satu dari sekian fenomena yang kerap kita temukan dalam dinamika dakwah. Halaqah yang semestinya menjadi ajang pemenuhan amunisi dakwah, kini kehilangan urgensitasnya. Jika ditanya alasan, kerap kali kita menyandarkannya sesuka hati bahkan tak jarang lebih sering tersandera hawa nafsu ketimbang standar wahyu. Gerimis tak seberapa pun dianggap sebagai hujan yang deras, “afwan ustadz, ana izin tak ikut halaqah” begitulah kira-kira kalimat yang sering diterima musyrif dari para darisnya ketika waktu halaqah tiba sedangkan cuaca sedikit mendung. Di sisi yang lain, banyak dari kita yang tak menghiraukan cuaca jika berbicara kerja dan cari nafkah. Hujan sebesar apapun tak menyurutkan langkah untuk tetap pergi ke kantor, sedangkan untuk halaqah? tampaknya itu semua tak berlaku.
Kondisi serupa bisa kita temui pada para aktivis dakwah yang sudah menikah. Si kecil rewel kerap dijadikan alasan untuk tidak ikut perhalaqahan “afwan ustadz, ana ada keperluan keluarga mendadak. Izin tak bisa ikut halaqah.” Begitulah kira-kira, ada saja seribu satu alasan bagi kita untuk tak hadir majlis ilmu, yang sejatinya hanya bisikan-bisikan iblis yang akan membinasakan. Jika kita berdiam diri dengan kondisi demikian, bersiaplah kita akan menjadi budak kemalasan yang kesehariannya disandera hawa nafsu yang tak berkesudahan.
Kondisi ini kian diperparah dengan alasan para daris yang ‘menyalahkan’ kapasitas musyrif yang tak sesuai standar. Padahal, dalam penentuan stadar pun tak jarang kita menyandarkannya kepada ‘selera’ nafsu belaka. Lihatlah para generasi salafus shalih, mereka tak sekali-kali menyalahkan guru dalam hal kapasitas. Yang mereka kejar tidak lain adalah keberkahan majlis yang tidak akan didapatkan jika tak menghadirinya.
Berbicara para sahabat rasul dan generasi salafus shalih, malu rasanya jika dibandingkan dengan kualitas amalan kita yang sekarang, termasuk dalam hal mengkaji ilmu. Akan tetapi, itu semua tak menyurutkan harapan untuk bisa mengikuti jejak teladan yang telah mereka goreskan.
Ikhwah, kau bicara kebangkitan Islam, sedangkan untuk membangkitkan diri saja kita kewalahan. Halaqah itu sebagai pilar utama penanaman kepribadian yang nanti menjadi amunisi dalam menyapa umat menuju kebangkitan. Jika kualitas halaqahnya saja acak-acakan, bagaimana bisa kita mengajak umat menuju kebangkitan?
Ikhwah, bolehkan saya utarakan sepenggal kisah generasi salafus shalih dalam semangatnya mengkaji Islam dan mendatangi majlis-majlis kajian ilmu?
Tersebutlah di salah satu wilayah, seorang anak muda yang memiliki semangat mengkaji ilmu, namanya Ibnu Jandal Alqurthubi. Kesenangannya pada ilmu membuatnya rela mengorbankan apapun agar bisa mendapatkan sereguk hikmah dari para gurunya. Suatu hari ia hendak menghadiri majlisnya Ibnu Mujahid. “saya pernah belajar kepada Ibnu Mujahid. Agar bisa mendapatkan tempat terdekat dengan beliau, saya berangkat sebelum fajar menyingsing. Sesampai di tempat kajian, didapati pintunya masih tertutup dan saya tidak bisa memasukinya” kurang lebih begitulah tuturnya. “Masya Allah, sudah berangkat sepagi ini tapi saya tetap tidak bisa duduk di dekatnya” lanjutnya. Kemudian, ia melihat ada lorong berukuran kecil di samping rumah Ibnu Mujahid. Ditembuslah lorong tersebut dengan harapan ia bisa tetap menghadiri majlis ilmu Ibnu Mujahid meskipun sudah terlambat. Di tengah lorong, didapati lorongnya semakin menyempit. Kondisi ini membuatnya kesulitan untuk melanjutkan perjalanan; tidak pula untuk kembali. Dengan baju yang terkoyak-koyak, ia lanjutkan menerobos lorong tersebut. Hingga akhirnya, ia berhasil hadir di majlis ilmu Ibnu Mujahid dengan kondisi pakaian yang terkoyak dan badannya dipenuhi bekas terobosan lorong. Dengan penuh rasa malu, ia duduk di majlis tersebut dan berharap bisa mendengarkan untaian hikmah yang disampaikan gurunya tersebut.
Begitulah kualitas generasi salafus shalih dalam menempuh majlis ilmu. Seberapa beratpun kondisi yang dihadapi, karena baginya dengan mendapatkan ilmu akan membuatnya mulia di hadapan Allah, ia tempuh tantangan tersebut. Bagaiman dengan kita, ikhwah? Malu rasanya.
Berbicara seputar harta, bagaiman dengan harta yang kita miliki? Sudahkan kita korbankan untuk bekal berjuang di jalan Allah? Sudahkan kita korbankan harta kita untuk menghadiri perhalaqahan? Ataukah kita meragukan janji Allah bahwa Ia akan meninggikan derajat orang-orang berilmu?
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(al-Mujadilah: 11)
Ikhwah, 14 abad silam rasulullah sempat berujar bahwa siapa saja yang menempuh jalan ilmu dan duduk di majlis-majlis ilmu, maka Allah akan mencurahkan rahmat-Nya, menaungkan sayap-sayap malaikat-Nya, menurunkan sakinah ke dalam dadanya, dan menyebut-nyebut namanya di hadapan makhluk terbaik yang ada di sekitar-Nya. Masya Allah, tidakkah kita tergiru dengan janji mulia ini? Sudahkan kita mematri dalam dada kita untuk mendapatkannya?
Ikhwah, mestinya kita malu dengan kualitas amalan kita sekarang, Saat kita ngobrol perkara kerja, karier, dan jodoh, bicara mulai pangkal hingga ujung siap kita ladeni. Akan tetapi, untuk ngontak dan menyebarkan opini Islam apalagi halaqah? Tampaknya, itu semua tak berlaku. Beribu alasan dengan mudah menyeruak, mulai dari belum bisa, malu, dan belum siap. Bagaimana kita bisa siap dalam dakwah jika dalam mencari amunisinya saja kita bermalas-malasan.
Lalu melalui perjuangan tangan orang-orang yang beramal seperti ini, kita mengharap khilafah segera tegak? Kita kerap meminta khilafah segera Allah tegakkan tapi kita tak segera memantaskan diri sebagai orang-orang yang layak dapatkan pertolongan-Nya. Tak sedikit dari kita yang masih lebih mencinta dunia, padahal kepentingan Islam dan kaum muslim mesti tertunaikan segera. Mari kita muhasabah, benahi amal, luruskan niat, dan perkokoh komitmen terhadap dakwah yang mulia ini. Mari kita pastikan dakwah menjadi poros hidup dan amal kita. Semoga Allah jadikan kita insan-insan yang pantas menjadi penolong agama-Nya, yang dengannya kita layak dihadiahi khilafah ala minhaj an-nubuwah segera. Yuk, halaqah.
Wallahu a’lamu bi ash-shawab [] (Riki Nasrullah/Unpad)