Akibat Negara Lakukan Transaksi Riba, Keuangan Negara Tak Sanggup Lagi Lunasi Hutang -->

Kategori Berita

Minggu, 11 Mei 2025

Iklan Semua Halaman

Akibat Negara Lakukan Transaksi Riba, Keuangan Negara Tak Sanggup Lagi Lunasi Hutang

Saturday, May 20, 2017
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai sulit untuk bisa melewati masalah keuangan negara tanpa segera menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar 70 triliun rupiah setiap tahun.

Sebab, bunga obligasi rekap yang juga dibayar dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) selama 19 tahun itu membuat hampir 75 persen utang negara berasal dari beban utang BLBI tersebut.

Di sisi lain, rakyat yang tidak menikmati utang itu justru dipaksa menanggung kesalahan pengelolaan bank oleh obligor BLBI. Pajak dari rakyat digunakan untuk membayar utang BLBI setiap tahun.

Jika hal ini terus dibiarkan, suatu saat akan menimbulkan masalah yang lebih dahsyat karena APBN tidak sanggup lagi membayar bunga, apalagi berikut pokok utangnya.

Pemerintah saat ini ibarat menahan napas dalam air, tidak akan kuat menanggungnya.


“Maka tidak ada pilihan bagi Presiden Jokowi selain stop bayar bunga obligasi rekap sehingga APBN kita bisa lebih sehat.

APBN perlahan pulih dengan moratorium bayar bunga obligasi rekap dan bunga SBN yang diterbitkan untuk bayar bunganya,” kata Koordinator Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, saat dihubungi, Rabu (26/4).

Di tengah situasi fiskal yang sulit sekarang ini, lanjut dia, apa yang dikerjakan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mesti menjadi momentum bagi DPR dan pemerintah untuk berani menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap.

“Dibukanya kembali kasus BLBI dan menetapkan mantan kepala BPPN sebagai tersangka mesti menjadi momentum bersama untuk menyusun kebijakan anggaran yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” imbuh Dani.

Ia mengungkapkan konsep obligasi rekap pada 1998 sejatinya hanya menunda kehancuran, tapi masalah yang muncul malah lebih besar.

Dulu, utang RI masih sekitar 700 triliun rupiah, sekarang hampir tembus 3.700 triliun rupiah. Jika ini didiamkan, kerusakan keuangan negara akan semakin parah.

Apalagi, pemerintahan saat ini mewarisi iklim kredit bank yang tidak produktif selama belasan tahun. Banyak kredit untuk sektor tidak produktif, bukan untuk industri dan pertanian yang bisa menghasilkan pendapatan secara berkelanjutan, tapi untuk sektor properti yang bubble dan pertambangan yang spekulatif.

Di sektor properti, outstanding kredit sudah mencapai 900 triliun rupiah.


“Jadi, subsidi negara kepada bank dalam bentuk bunga obligasi rekap malah digunakan untuk kredit sektor yang lebih berisiko macet. Warisan seperti ini jangan diteruskan,” tegas Dani.
Pada 2004–2017, kata dia, aset properti naik akibat bubble hingga 600 persen. Ini juga menjadi sumber dari inflasi, tapi tidak produktif karena bubble. Akibatnya, nilai riil jaminan aset properti kepada bank bisa jauh di bawah nilai utang.

“Bank akan defisit karena nilai jaminan itu bubble. Nilai jaminan yang riil jauh di bawah 900 triliun rupiah, sudah bagus bila bisa sampai 200 triliun rupiah.

Ini lampu kuning yang harus diperhatikan pemerintah dan otoritas sektor keuangan,” jelas Dani.

Harus Tuntas

Ia menambahkan, memang benar kondisi seperti itu warisan pemerintahan sebelumnya, tapi pemerintah sekarang tetap harus segera mengambil tindakan tepat, tidak bisa ditunda lagi agar jangan muncul masalah besar seperti air bah.

Saat ini, KPK dipuji masyarakat karena berani menangani kasus BLBI yang hampir jadi fosil. Namun, jika penanganannya tidak tuntas, cuma kulitnya yang diusut maka tidak akan selesai, malah akan menjadi masalah nasional jilid selanjutnya.

“Maka pemerintah, BI, dan OJK harus satukan tekad yang sama untuk selesaikan masalah ini dengan tuntas. Jika penyelesaiannya sepotong-potong, itu sama saja dengan solusi krisis 1998 dengan obligasi rekap, yang akan menjadi bencana di masa datang,” papar Dani.

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menginginkan agar para obligor BLBI tetap dikejar. Meskipun sekarang banyak keberadaan obligor yang tidak diketahui.

Menurut dia, obligor harus bertanggungjawab atas dana yang sudah diterima, termasuk pengembalian yang disertakan bunga. “Pada dasarnya, kewajiban yang belum dipenuhi, apalagi setelah ada perjanjian antara obligor dan pemerintah, namun mereka belum memenuhi jumlah kewajiban tersebut, ya harus dikejar,” ungkap dia. (koran-jakarta.com)