
Pada era Khilafah Utsmani, kaum Muslimin menyimpulkan keimanan sebagai “Pemuliaan kalimat Allah dan ciptaan-Nya” oleh karenanya mereka tidak mengabaikan hewan saat membantu orang yang membutuhkan.
Dalam tradisi Islam, kaum Muslimin berupaya menghindari perbuatan zalim kepada sesamanya, termasuk memberikan hak kepada hewan, karena jika menzalimi manusia masih bisa meminta maaf, namun sulit halnya jika menzalimi hewan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tujuh pihak yang diberi naungan oleh Allah, dimana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.”
Dari tujuh pihak tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa siapa saja yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi -ibarat tangan kiri tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan- maka ia termasuk salah satu di dalamnya. (Riwayat Imam Muslim)

Allah Ta’ala berfirman,
لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)
Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir).
Patut dicatat, tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka.

Perlakuan Khilafah terhadap orang kafir, tidak dipukul rata. Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan,
“Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
(Sumber Gilig Guru)
(Sumber Gilig Guru)