Oleh Kholda Naajiyah
Seorang ibu, Novi (30), membunuh darah dagingnya, GW (5) dengan cara sadis. Mukanya disemprot obat nyamuk, dibungkus kresek hingga lemas dan tewas. Penyebabnya sepele, si anak masih ngompol. Siapa yang sebenarnya bermasalah? Novi atau anaknya?
Kisah sebelumnya, seorang dokter, Ryan Helmi menembak mati istrinya, dokter Letty Sultri gara-gara menggugat cerai. Orang berpendidikan tinggi pun, rupanya tak lepas dari problem rumah tangga yang sayangnya, meledak dengan akhir tragis. Mengapa orang-orang dewasa ini, tampak bersumbu pendek? Seolah tidak berpikir, membabi-buta melakukan tindakan brutal kepada orang yang harusnya ia kasihi.
Tampaknya, fenomena stres masal melanda para orangtua. Istri atau ibu stres, suami atau ayah stres. Entah karena menghadapi masalah rumah tangga yang bertubi-tubi, polah tingkah anak, ketidakpuasan terhadap pasangan, dan lain-lain.
Walhasil, banyak orangtua merasa tidak bahagia. Menikah dan punya anak seolah menjadi sumber petaka yang tiada habisnya. Kok bisa? Padahal, orangtua seharusnya mampu menciptakan kebahagiaan di rumahnya. Karena, kalau bukan mereka, siapa yang diharapkan mewujudkan bahagia ini? Berikut ini di antara renungan bagi pasangan atau orangtua agar lebih bahagia.
1. Positif Thinking
Perasaan bahagia disetir olah pola pikir. Bukan oleh materi. Bukan oleh kecantikan istri atau kegantengan suami. Tapi mindset. Kalau kita berpikir negatif, niscaya tindakan juga akan negatif.
Contoh, kalau kita merasa paling menderita di dunia, ya sudah, akan merasa menderita seterusnya. Ketika berpikir pasangan kita paling buruk, akan berpengaruh terhadap sikap sehari-hari. Judes, jutek, abai, dll.
Ketika kita berpikir anak saya paling nakal, paling tidak pintar, paling tidak membanggakan, maka pemikiran itu akan mempengaruhi tindakan kita yang semena-mena terhadap anak-anak. Buang jauh-jauh negatif thinking seperti itu. Positif thinkinglah.
2. Bersyukur
Mendapat peran sebagai orangtua adalah profesi terbaik di dunia, yang tidak bisa diganti dengan bayaran materi sekalipun. Bukankah sebelum menikah, kita begitu merindukan ingin menjadi istri.
Membayangkan romantisnya melayani seorang suami. Lalu ingin menjadi ibu, menimang buah hati penuh peluk cium. Yang laki-laki, ingin menjadi suami. Membayangkan mesranya menggandeng istri. Lalu ingin menjadi ayah, menimang buah hati kesayangan. Indahnya.
Tapi mengapa imajinasi itu tidak diwujudkan dalam kenyataan? Mengapa setelah menikah suami-istri malah jadi sumber masalah? Mengapa anak-anak menjadi beban? Maka bersyukurlah. Syukur itu dekat dengan qona'ah. Ketenangan. Kalau sudah tenang, pikiran akan terbimbing.
3. Problem Solver
Seorang ibu, Novi (30), membunuh darah dagingnya, GW (5) dengan cara sadis. Mukanya disemprot obat nyamuk, dibungkus kresek hingga lemas dan tewas. Penyebabnya sepele, si anak masih ngompol. Siapa yang sebenarnya bermasalah? Novi atau anaknya?
Kisah sebelumnya, seorang dokter, Ryan Helmi menembak mati istrinya, dokter Letty Sultri gara-gara menggugat cerai. Orang berpendidikan tinggi pun, rupanya tak lepas dari problem rumah tangga yang sayangnya, meledak dengan akhir tragis. Mengapa orang-orang dewasa ini, tampak bersumbu pendek? Seolah tidak berpikir, membabi-buta melakukan tindakan brutal kepada orang yang harusnya ia kasihi.
Tampaknya, fenomena stres masal melanda para orangtua. Istri atau ibu stres, suami atau ayah stres. Entah karena menghadapi masalah rumah tangga yang bertubi-tubi, polah tingkah anak, ketidakpuasan terhadap pasangan, dan lain-lain.
Walhasil, banyak orangtua merasa tidak bahagia. Menikah dan punya anak seolah menjadi sumber petaka yang tiada habisnya. Kok bisa? Padahal, orangtua seharusnya mampu menciptakan kebahagiaan di rumahnya. Karena, kalau bukan mereka, siapa yang diharapkan mewujudkan bahagia ini? Berikut ini di antara renungan bagi pasangan atau orangtua agar lebih bahagia.
1. Positif Thinking
Perasaan bahagia disetir olah pola pikir. Bukan oleh materi. Bukan oleh kecantikan istri atau kegantengan suami. Tapi mindset. Kalau kita berpikir negatif, niscaya tindakan juga akan negatif.
Contoh, kalau kita merasa paling menderita di dunia, ya sudah, akan merasa menderita seterusnya. Ketika berpikir pasangan kita paling buruk, akan berpengaruh terhadap sikap sehari-hari. Judes, jutek, abai, dll.
Ketika kita berpikir anak saya paling nakal, paling tidak pintar, paling tidak membanggakan, maka pemikiran itu akan mempengaruhi tindakan kita yang semena-mena terhadap anak-anak. Buang jauh-jauh negatif thinking seperti itu. Positif thinkinglah.
2. Bersyukur
Mendapat peran sebagai orangtua adalah profesi terbaik di dunia, yang tidak bisa diganti dengan bayaran materi sekalipun. Bukankah sebelum menikah, kita begitu merindukan ingin menjadi istri.
Membayangkan romantisnya melayani seorang suami. Lalu ingin menjadi ibu, menimang buah hati penuh peluk cium. Yang laki-laki, ingin menjadi suami. Membayangkan mesranya menggandeng istri. Lalu ingin menjadi ayah, menimang buah hati kesayangan. Indahnya.
Tapi mengapa imajinasi itu tidak diwujudkan dalam kenyataan? Mengapa setelah menikah suami-istri malah jadi sumber masalah? Mengapa anak-anak menjadi beban? Maka bersyukurlah. Syukur itu dekat dengan qona'ah. Ketenangan. Kalau sudah tenang, pikiran akan terbimbing.
3. Problem Solver
Suami atau istri harus mampu menjadi pemecah masalah. Sebab, rumah tangga memang tidak akan sepi dari masalah. Setiap persoalan apapun, harus dihadapi. Dipecahkan bersama. Jangan dipendam, apalagi diabaikan. Suami punya masalah terhadap istri, cari solusi. Sebaliknya pun demikian. Ibu punya kemampuan problem solver terhadap permasalahan anak-anaknya. Demikian pula ayah menghadapi anak-istrinya. Masalah jangan ditumpuk. Sewaktu-waktu bisa meledak.
4. Berlomba Memberi
Menjadi orangtua, membangun rumah tangga, adalah tempat untuk berbagi. Berbagi beban, sekaligus berbagi kebahagiaan. Hal itu bisa diciptakan jika antara pasangan berlomba saling memberi yang terbaik.
.
Bukan berlomba meminta yang terbaik. Fastabiqul khairat dalam memperlakukan pasangan dan anak-anak dengan perlakuan terbaik. Menyediakan kebutuhan dengan cara terbaik. Dan seterusnya.
.
Bukan sebaliknya, menuntut mereka selalu memberi yang terbaik. Menuntut mereka berbuat baik, tanpa kita mendahulukan kebaikan-kebaikan. Bukankah ada kata pepatah, apa yang ditanam, itulah yang dipanen? Tanaman yang baik akan menghasilkan buah yang baik.(*)
4. Berlomba Memberi
Menjadi orangtua, membangun rumah tangga, adalah tempat untuk berbagi. Berbagi beban, sekaligus berbagi kebahagiaan. Hal itu bisa diciptakan jika antara pasangan berlomba saling memberi yang terbaik.
.
Bukan berlomba meminta yang terbaik. Fastabiqul khairat dalam memperlakukan pasangan dan anak-anak dengan perlakuan terbaik. Menyediakan kebutuhan dengan cara terbaik. Dan seterusnya.
.
Bukan sebaliknya, menuntut mereka selalu memberi yang terbaik. Menuntut mereka berbuat baik, tanpa kita mendahulukan kebaikan-kebaikan. Bukankah ada kata pepatah, apa yang ditanam, itulah yang dipanen? Tanaman yang baik akan menghasilkan buah yang baik.(*)