Oleh: Rizqi Awal, SE.Sy (Pemerhati Politik Internasional)
Keluarnya inggris dari Uni Eropa, menambah daftar kelam bagaimana Eropa mengorganisasi wilayahnya untuk berkembang pesat. Gelombang imigran besar-besaran dari sejumlah kawasan, utamanya dari Kawasan Asia Selatan, Afrika, Polandia dan kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah, tengah menjadi pemicu Brexit.
Pengamat dan politisi di luar Inggris, menganggap ini adalah mimpi buruk. Kaum muda yang mayoritas mendukung Inggris dalam Uni Eropa pun demikian. Berbeda dengan kaum tua. Mereka tetap berpikir era masa lalu mereka, tanpa Uni Eropa dan tanpa imigran yang relatif besar.
Mata uang Poundsterling jatuh dalam posisi sangat rendah selama kurun 30 tahun terakhir. Ini juga memicu pergolakan di bursa saham setempat. Kegagalan inggris terlihat dari bertambah banyaknya warga lokal yang menganggur bahkan menjadi tunawisma. Hal ini karena warga lokal inggris dinilai hari ini berada dalam kondisi malas dan kurang inovatif. Sementara itu, kegigihan kaum Imigran dalam bertahan hidup, justru membuat strata sosial mereka naik.
Bagi uni eropa, tentu ini membuat lahirnya kesenjangan hubungan diplomatik baik politik dan ekonomi. Bahkan, apa yang dilakukan Inggris ini, dapat memicu pula sejumlah negara lainnya, untuk melakukan hal yang sama. Maklum, Uni Eropa berupaya mengikat kekuatan Kapitalisme secara global, sayangnya, mereka lupa, Kapitalisme adalah arogansi individualisme.
Dan mereka yang tinggal di inggris, telah melihat, bagaimana sisi buruk pengusung HAM dan Demokrasi yang menjadi salah satu kiblat dunia. Yaitu lahirnya propaganda rasial. Pasca referendum itu muncul seruan-seruan rasialis yang tak pantas ditampilkan oleh negara yang membanggakan HAM dan Demokrasi itu.
Pada akhirnya, kita tengah dipertontonkan tayangan menarik tentang "Kapitalisme Menelan Tuannya Sendiri".
Komentar