![Megawati dan Jokowi [metrotvnews]](http://sp.beritasatu.com/media/images/original/20130705131524784.jpg)
Ada hal yang aneh terjadi akhir-akhir ini. Yaitu budaya kritik terhadap penguasa semakin ramai saja. Entahlah, ini kesadaran politik atau "sakit hati" politik. Hampir-hampir di sejumlah media massa baik cetak maupun online latah dalam mengkritik penguasa.
Ya, tak sedikit dulu yang memuji, melindungi dan berpihak pada penguasa, yang dulu merangkul sejumlah partai dalam koalisinya. Bahkan, untuk mengkritik kebijakan di masa lalu sepertinya tak sesering sekarang. Padahal, pemimpin yang dihasilkan dari sistem Neolib itu sebelas duabelas. Semuanya sama, berpijak pada tataran Kapitalisme, Sekulersime dan cenderung tak menjadikan islam sebagai panutan.
Yang berbeda hanya tipe kepemimpinannya. SBY yang berlatar belakang militer dan berpengalaman dalam strategi lobi dengan Jokowi yang besar dari pengusaha dan sipil tentu berbeda dalam segi memimpin. Tapi dari segi sistem yang diambil keduanya mirip, yaitu Neolib. Tak jauh berbeda satu sama lainnya.
Bagaimana sikapnya terhadap ummat islam? SBY merangkul beberapa tokoh, baik yang dinilai liberal, moderat hingga bisa dikatakan fundamental. Bahkan SBY terbilang mendiamkan mereka yang fundamental, dan hanya menggunakan Densus 88 dan BNPT sebagai kontrol utama terhadap gerakan "fundamental kebablasan".
Sementara Jokowi, yang dianggap sebagian kalangan sebagai Boneka hidup ini, lebih dekat kepada golongan liberal dan moderat. Dan memang untuk urusan Densus 88 dan BNPT, Jokowi hanya wait and see saja atas tindakan-tindakan mereka. Meskipun, Jokowi sudah sedari awal diberikan jarak dengan sejumlah kelompok islam yang dulu membela SBY dan berada dibalik dukungannya terhadap Prabowo.
Latah Mengkritik
Tak sedikit, sejumlah media yang dulu berada di dalam katrol penguasa, kini justru "hobi" mengkritik. Bahkan ada yang tiada habis-habisnya melakukan kritik kepada penguasa. Kritik itu kini bukan pada kinerja saja, tapi bahkan sampai kritik terhadap tingkah laku dan sikap seorang penguasa dan bawahannya. Lagi-lagi kita berpikir, apakah aktivitas ini murni atas kesadaran mereka tentang penerapan sistem Neolib yang hampir sempurna ini, atau memang karena "sakit hati" dan "dicurangi" dalam kekuasaan.
Gerakan islam yang dulu senantiasa mengatakan selama Penguasa masih sholat maka tak boleh dikritik secara nyata, justru ikut serta bermanuver. Entah dengan mengeluarkan sejumlah fatwa atau mengirim pesanan kepada sejumlah elite politik dan sahabat mereka yang punya garis tuntutan kekuasaan.
Padahal seharusnya, dalam posisi apakah Oposisi atau Pro penguasa, seharusnya, gerakan-gerakan islam itu sadar, selama bukan sistem islam yang diterapkan, mana mungkin akan menghadirkan sistem yang adil dan taat syariat. Yang ada pemerintahan bersiasat dan melakukan banyak maksiat.
Maka, harusnya dalam latah mengkritik, bukan dalam mengejek penguasa scara individu (baik fisik maupun tingkah) sebab hal ini tidak dibenarkan kecuali tindakannya merupakan dosa besar. Tapi seharusnya yang dikritik adalah setiap kebijakan yang tidak berpihak pada islam dan rakyat. Itulah cara melakukan pendewasaan politik sesungguhnya.